Taufiq Ismail
Seseorang
dianggap tak bersalah,
sampai dia
dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami,
ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah
sebuah kisah,
Seorang pegawai
tinggi,
gajinya sebulan
satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada
Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu,
Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah
di Leiden, Montpelier dan Savannah.
Rumahnya
bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester
ganjil,
isteri terangnya
belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester
genap,
isteri gelap
liburan di Eropa dan Afrika,
Anak-anaknya
pegang dua pabrik,
tiga apotik dan
empat biro jasa.
Saudara sepupu dan
kemenakannya
punya lima toko
onderdil,
enam biro iklan
dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah
anjlok terperosok,
kepleset macet
dan hancur jadi bubur,
dia ketawa
terbahak- bahak
karena
depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari
dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya
melesat sepuluh kali lipat,
Krisis makin
menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus
kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya
masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir
minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah
hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita
koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,
Gelombang mau
datang, datanglah gelombang,
setiap air bah
pasang dia senantiasa
terapung di atas
banjir bandang.
Banyak orang
tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata
begini,
"Yah,
masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"
Seperti bandul
jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan
misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak
jadi diperiksa,
kekayaan mau
diperiksa,
kekayaan tidak
diperiksa,
kekayaan harus
diperiksa,
kekayaan tidak
jadi diperiksa.
Bandul jam tua
Westminster,
tahun empat puluh
satu diproduksi,
capek bergoyang
begini, sampai dia berhenti sendiri,
Kemudian ide baru
datang lagi,
isi formulir
harta benda sendiri,
harus terus
terang tapi,
dikirimkan
pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal
sangat pribadi,
Selepas itu
suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi
burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang
dianggap tak bersalah,
sampai dia
dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami,
ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana
membuktikan bersalah,
kalau kulit tak
dapat dijamah.
Menyentuh tak
bisa dari jauh,
memegang tak
dapat dari dekat,
Karena ilmu
kiat,
orde datang dan
orde berangkat,
dia akan tetap
saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya
dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup
teh nasgitel
dia duduk
menerima telepon
dari isterinya
yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai
tiga proposal,
dua diskusi panel
dan sebuah rencana rapat kerja,
Sementara itu
disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama
Frank Sinatra
yang kemarin baru
meninggal dunia,
ditingkah lagu
burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar
tergantung di atas sana
dan tak
habis-habisnya
di layar kaca
jinggel bola Piala Dunia,
Go, go, go, ale
ale ale...
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar