Cerpen Sunlie Thomas
Alexander
BANGKU beton itu masih di sana, di bawah rindang batang
jambu air. Kusam dan berlumut tebal. Alang-alang tumbuh lebat di sekelilingnya,
tanaman pakis menjalar liar. Di atasnya, berserakan guguran daun-daun tua.
Sebagian telah membusuk oleh hujan. Ia tertegak di pintu dapur, tak berkesip
memandang bangku di sudut pekarangan rumah itu. Entahlah, lamat-lamat ia seolah
mendengar tiupan harmonika, mendengar lagu Les Premiers Sourires de Venessa-nya
Richard Clayderman. Beberapa saat lamanya ia merasa terbuai. Tapi, sesuatu
seperti menyesaki dadanya. Tanpa sadar ia menggigit bibir. Pandangannya menjadi
buram. Tentu ia tak pernah bisa melupakan lagu itu, juga lagu-lagu Richard
Clayderman lainnya. Meskipun sudah demikian lama, bertahun-tahun, tak pernah
mendengarnya lagi. Ia ingat, lelaki itu nyaris dapat memainkan semua lagu Richard
Clayderman dengan segala instrumen, dengan cukup sempurna.
Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di sana
sambil meniup harmonika. Hampir setiap sore, setelah toko tutup, lelaki itu
akan duduk-duduk di bangku beton di bawah pohon jambu air lebat itu sambil
meniup harmonika, membaca buku atau koran. Kadangkala secangkir kopi
menemaninya. Lelaki itulah yang membuat ia jatuh cinta pada musik, juga
mengenalkannya pada wushu.
"Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang," ia
seperti mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. "Ya, turunkan kuda-kudamu
lebih rendah. Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan
mengelak dan menyerang bagian rusuknya."
Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. "Sudah Pa, sudah capek.
Aku mau main bola..."
"Ah, manja kau!" lelaki itu menyeringai." Kau les piano kan
nanti malam?"
Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan
harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu
silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour
Adeline, A Comme Amour, Un Blanc Jour D’un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma
Mere... Agaknya ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tidak pernah
bisa memainkan lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih
tertarik pada musik klasik murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach.
Atau yang lebih kontemporer, Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar
di akademi musik, ia pun lebih senang mengambil mayor gitar.
Ada jalan setapak kecil dari susunan batu-batu putih, membentuk lengkungan
setengah lingkaran dari pintu dapur ke bangku beton itu, memotong hamparan
rumput jarum yang meranggas. Agak ragu ia melangkahkan kakinya ke sana. Angin
sore terasa basah, sedikit kencang, membuat dedaunan jambu air bergemerisik
ribut. Ia melihat daun-daun tua keemasan yang melayang jatuh seakan dalam gerak
slow motion. Dan, hal itu, entah kenapa, membuat perasaan sedihnya semakin
tajam. Seperti mengiris di dada. Ah, waktu! Waktu!
Namun, saat langkah kakinya sampai di sana, bangku beton itu tiba-tiba terasa
begitu senyap. Bungkam, seakanakan tak berkenan menyambut kedatangannya. Tak
ada lagi tiupan harmonika, tak ada lagu-lagu Richard Clayderman yang mengiang
di telinganya. Semua lenyap. Ia berdiri tertegun di bawah kerindangan pohon
jambu.
Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus.
Ia tahu, sejak muda ibunya bukanlah perempuan yang cukup telaten mengurus
rumah. Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah
dipulangkan ibu ke kampung setelah lelaki itu meninggal.
"Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampung. Ibu beri pesangon
secukupnya," kata ibunya dalam sepucuk surat. Ah, dulu lelaki itu selalu
wantiwanti kalau pekarangan belakang rumah itu harus selalu bersih dan rapi.
Tiba-tiba ia baru menyadari kalau di teras belakang itu tak ada lagi pot-pot
bunga berukuran besar-kecil yang tertata indah. Beragam bunga, terutama
euphorbia, anggrek, dan adenium. ia termangu-mangu di depan bangku beton yang
kusam berlumut itu. Mencoba mengingat semua kejadian indah yang pernah
dilewati.
"Kau mau makan dulu?"’Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia
berpaling dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur.
Ia menggeleng ragu.
***
IA pulang juga setelah sembilan tahun. Rumahnya -sebuah ruko tepatnya-tidak
banyak berubah seperti juga kota kecilnya. Bagian muka ruko tampak sepi, ketika
ia turun dari angkot yang membawanya dari pelabuhan. Rolling door biru muda
kusam berkarat tertutup rapat dengan gembok besar terkait di bagian bawahnya.
Hujan rintik-rintik menyergapnya di depan ruko. Kernet angkot membantu
menurunkan dua ransel besar yang dibawanya. Setelah membayar sesuai harga yang
telah disepakati di pelabuhan, ia mengangkat kedua ransel besarnya, agak
sempoyongan karena berat. Ada beberapa orang menatapnya. Ia berpaling ketika
merasa mengenali seseorang. Seorang perempuan separo baya. Ia masih mengenali
perempuan itu, tetangga bertahun-tahun. Ia tersenyum lebar. Tapi perempuan itu
diam saja, terus menatapnya tak berkedip, meskipun kemudian mengangguk kecil.
Tanpa senyum. Ah, apakah ia tidak kenal padaku lagi? Pikirnya kurang enak.’
Diteruskan langkahnya ke pintu depan rumah yang terbuka dengan rolling door
tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi
sebagai pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan
pembatas dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk
itu. Lampu di lorong kecil itu belum dinyalakan.
Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak
berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di
dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup
rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Gelenggeleng kepala, ia meneruskan
langkahnya melewati ruang tengah. Ada seekor kucing belang tidur di dekat sofa.
Bangun mendadak ketika ia lewat. Kucing itu tampak waspada. Ia menyeringai
lebar.
Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja
sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anaknya masuk.
Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan kecantikan di
masa muda.
"Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang."
Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, "Duduklah."
Perempuan itu kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk
anaknya. Diperhatikan betul kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan
itu. Ia tersenyum getir.
"Mama pikir kau tak jadi pulang," suara ibunya seperti menggantung.
Ah, tidak Ma, aku pasti pulang seperti yang aku katakan di telepon, elaknya
buruburu. Ibunya tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua
kali ia pernah berjanji untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak
perempuannya menikah. Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu,
ia seolah ditelan tanah rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.
Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil
di atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah,
dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng bekas susu
bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja.
Tiga lembar kertas merah bertulisan China yang masing-masing ditempel pada dua
batang dupa tertancap pada setiap kaleng. Ia tak bisa membaca hanji -meskipun
pernah diajari- tapi ia tahu mana nama bapaknya, kakek, dan neneknya.
"Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!" kata perempuan itu
sambil mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu
bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di depan
meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging yang
tertata dalam piring-piring di atas meja.
Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin
berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa
itu begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya
yang memegang dupa di depan dada sekadarnya dengan mulut terkatup, tanpa
mengucapkan sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya
berdoa panjang-lebar setiap kali sembahyang.
Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti
diucapkan untuk masa lalu. Orangorang yang telah pergi itu cukuplah menjadi
hantu di dalam kenangan. Sekadar hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu
-atau sakit-oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir
ketika menancapkan dupa di kaleng. Sampai tiba- tiba ia menangkap bayangan
bangku beton itu lewat ambang pintu dapur yang terbuka lebar.
***
Lelaki itu seharusnya bisa memilihuntuk melupakan masa silamnya. Seharusnya.
Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam
itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia
selalu yakin lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu
akhirnya memilih tidak seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia
pendam. Ia memang menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam
perlahan mulai tumbuh di dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti
lumut yang kini melapisi bangku beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.
Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di
rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu semakin
sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil
memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu
saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan
pintu.
Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang
pasti, ia mulai jarang bicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindar bila
berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara
pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba canggung.
Richard Clayderman menghilang.
"Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan
itu...."Ada senyum tipis di wajah ibunya. Mama tidak sakit kok! Papamu
akan tetap bersama kita. Mama bisa mengerti dia. Sederetan kalimat meluncur
lancar, senyum di wajah ibunya merebak lebih lebar. Tapi ia melihat luka
menganga yang sia-sia disembunyikan itu, di dalam bola mata ibunya. Mata yang
indah, meski sedikit sayu. Mirip dengan mata Natalia. Ah!
Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang
suka dikisahkan perempuan itu waktu ia masih kecil. Tentang seorang lelaki yang
jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang
manis. Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu
sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat
itu, si lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang
saku dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan
itu, yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua.
Diajaknya perempuan itu pulang ke kampung halaman.
"Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di sana?" kata
perempuan itu bimbang. Lelaki itu tergetar oleh sepasang matanya yang begitu
sunyi, "Tapi ada aku. Aku akan membawamu kepada orang tuaku." Biduan
manis itu hanya tersenyum sipu, senyum yang tak kentara maknanya. Toh, itu
sudah cukup membuat lelaki itu berbunga-bunga.
Namun, kampung halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima si
perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik
toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.
"Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!" Suara bapaknya cukup
keras di tengah malam, "Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya kan?!"
Lelaki itu balas menatap bapaknya lekat-lekat, tak gentar. Ia tak peduli siapa
perempuannya, siapa orang tua perempuan itu sebagaimana yang diceritakan
bapaknya. Ia juga tak peduli pada peristiwa besar yang pernah terjadi di kota
kecilnya, juga seluruh negeri. Sebuah peristiwa politik yang kelabu. Tahun
gelap yang kemudian tercatat penuh dusta di buku sejarah anak-anak sekolah.
"Aku mencintainya!" Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya
berapi-api. Tapi perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa
meninggalkan pesan apa pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua
kali.
***
IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal
Natalia ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu
pindah ke sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri
pandang pada gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang
sedikit berdebar. Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati,
mendekat ketika ia menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan
bersemangat mendekati gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka
yang begitu muram di kedua mata Natalia yang sayu...
Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di
laci meja baca bapaknya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut
foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci
itu.
"Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!"
Ibunya bergegas menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan
kecil.
"Siapa perempuan di foto itu, Ma?" tanyanya. Namun ia tidak pernah
mendapat jawaban.
"Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!" Lelaki itu menatapnya tajam
dengan wajah agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu
bersuara keras padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah
perempuan cantik di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.
"Aku bertemu dengan perempuan dalam foto Papa...," katanya sore itu
sepulang dari rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan
padanya tinggal di mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diamdiam
menguntit Natalia. Dan perempuan itu ada di sana, mempersilahkannya masuk dan
menghidangkan untuknya secangkir teh. Ia sama sekali lupa apa tujuannya datang
ke sana, pun ketika Natalia mempersilahkan minum. Mereka duduk berhadapan
dengan begitu kaku.
"Aku bertemu dengannya, Ma," ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya
wajah ibunya berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.
***
ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun
agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih
duduk-duduk di sana, tapi tidak bermain harmonika atau membaca. Dia hanya duduk
termangu di sana, dengan raut wajah yang kadangkala tampak kosong. Mereka tidak
pernah lagi bicara. Badan kekar lelaki itu kian hari semakin susut, tampak
rapuh. Asam urat, iritasi lambung, ada masalah dengan ginjal dan lever.
Malarianya juga sering kambuh, kata ibunya terisak. Entah dari mana segala
penyakit itu datang, barangkali akibat waktu muda papamu terlalu banyak
mengonsumsi alkohol. Dia dulu peminum? Tanyanya, tapi cuma di dalam hati.
Lelaki itu meninggal ketika ia hampir tamat SMA. Ibu dan kakaknya menangis berhari-hari
tapi ia tidak. Ia hanya menatap jenazah lelaki itu dimasukkan ke peti mati
dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jelaskan sepenuhnya. Pandangan matanya
seperti berkabut. Perempuan itu datang ke pemakaman bersama Natalia, keduanya
mengenakan pakaian serbaputih seperti halnya ia, ibu, dan kakak perempuannya.
Tetapi mereka tidak saling bertegur sapa.
Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil
itu, dan tak pernah pulang sekali pun...
"Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut.
Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang
datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang
kakak iparmu!" Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari lalu. Ia
tak menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sembahyang arwah Chit
Ngiat Pan...
yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat
kakak perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan
kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis
manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di
pintu dapur.
Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers
Sourires de Venessa dan lagu-lagu lainnya... ***
Gaten, Yogyakarta, Mei 2007 /kenang-kenangan buat bapak
READ MORE -
Bangku Beton