SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API



W.S. Rendra


       Bagaimana mungkin kita bernegara
       Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
       Bagaimana mungkin kita berbangsa
       Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
       bersama ?
       Itulah sebabnya
       Kami tidak ikhlas
       menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
       dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
       sehingga menjadi lautan api
       Kini batinku kembali mengenang
       udara panas yang bergetar dan menggelombang,
       bau asap, bau keringat
       suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
       langit berwarna kesumba

       Kami berlaga
       memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
       Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
       yang bisa dialami dengan nyata
       Mana mungkin itu bisa terjadi
       di dalam penindasan dan penjajahan
       Manusia mana
       Akan membiarkan keturunannya hidup
       tanpa jaminan kepastian ?

       Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
       Hidup yang diperkembangkan
       dan hidup yang dipertahankan
       Itulah sebabnya kami melawan penindasan
       Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
       bangsa tetap terjaga

       Kini aku sudah tua
       Aku terjaga dari tidurku
       di tengah malam di pegunungan
       Bau apakah yang tercium olehku ?

       Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
       yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
       Ataukah ini bau limbah pencemaran ?

       Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?
       Apakah ini deru perjuangan masa silam
       di tanah periangan ?
       Ataukah gaduh hidup yang rusuh
       karena dikhianati dewa keadilan.
       Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
       dibangunkan oleh mimpi ?
       Apakah aku tersentak
       Oleh satu isyarat kehidupan ?
       Di dalam kesunyian malam
       Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
       Apakah yang terjadi ?

       Darah teman-temanku
       Telah tumpah di Sukakarsa
       Di Dayeuh Kolot
       Di Kiara Condong
       Di setiap jejak medan laga. Kini
       Kami tersentak,
       Terbangun bersama.
       Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
       Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?

       Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
       Apakah kita masih sama-sama setia
       Membela keadilan hidup bersama

       Manusia dari setiap angkatan bangsa
       Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
       Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
       Dan menghadapi pertanyaan jaman :
       Apakah yang terjadi ?
       Apakah yang telah kamu lakukan ?
       Apakah yang sedang kamu lakukan ?
       Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
       Dari jawaban yang kita berikan.
READ MORE - SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API

SAJAK KENALAN LAMAMU


W.S. Rendra


Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
…………………............
Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
………….............
Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
…………..........
Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……...........
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
…….....
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
……….
Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
…........
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
…..........................
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
……............

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.

Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.
…………………

Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.
 

Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
READ MORE - SAJAK KENALAN LAMAMU

Sebuah Jaket Berlumur Darah


Taufiq Ismail


Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN


1966
READ MORE - Sebuah Jaket Berlumur Darah

SALEMBA

Taufiq Ismail


Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini

Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani



1966

READ MORE - SALEMBA

NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA


Taufiq Ismail

Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi


                        April, 1965
READ MORE - NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA

Memang selalu demikian, Hadi


Taufiq Ismail

Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi

1966
READ MORE - Memang selalu demikian, Hadi